Rahasia
Rezeki
Pada saat kita dalam kandungan Ibu, maka 3 hal telah ditetapkan
Allah swt; hidup- mati, rezeki dan jodoh. Ketiga hal ini merupakan rahasia
Allah swt dan tersimpan dalam Lauhul Mahfuz. Kita coba telaah salah satu dari
ketiga rahasia Allah swt tersebut, yakni rezeki.
Rezeki seseorang telah ditetapkan oleh Allah swt, baik rezeki
yang halal maupun yang haram. Timbul pertanyaan: “Kenapa saya harus dihisab
atas rezeki yang haram, sedangkan Allah telah menetapkannya untuk saya?”.
Jawabannya adalah, Allah swt memberikan kemampuan manusia untuk
memilih rezeki halal atau haram, sedangkan orang-orang yang beriman tidak akan
menjulurkan tangannya meraih rezeki yang haram. Jika ia dalam kesusahan, maka
dia akan tetap bersabar dan selalu berusaha (ikhtiar) untuk meraih rezeki yang
halal. Wahai manusia, makanlah oleh kalian apa saja yang halal dan baik yang
terdapat dibumi. (Qs. Al-Baqarah [2]: 168).
Jika hari ini kita ditakdirkan memperoleh rezeki 100 ribu
rupiah, maka ada 3 kemungkinan yang akan terjadi:
Kita mencopet, maka kita akan memperoleh 100 ribu dan dosa
ita bekerja secara halal, maka kita akan memperoleh 100 ribu dan
pahala
ita duduk saja dirumah dan tiba-tiba saudara kita datang
memberikan 100 ribu, maka kita akan memperoleh 100 ribu serta tanpa pahala dan
dosa.
Jumlah rezeki telah ditetapkan oleh Allah swt, tetapi proses
mendapatkannya merupakan pilihan-pilihan yang diberikan kepada manusia dan
penetapan pilihan ini yang akan dihisab oleh Allah swt. Jumlah rezeki tidak
tergantung dari proses sebab-akibat yang dilakukan oleh manusia. Karena jika
tergantung dari sebab-akibat, maka seorang tukang becak yang bekerja keras
seharusnya lebih kaya dari seorang Manager yang banyak duduk, maka seorang
ulama yang shaleh dan berdo’a dengan khusyu’ lebih kaya dari seorang Direktur
yang mengabaikan perintah Allah swt. Tetapi bukannya kita tidak perlu bekerja
keras dan berdo’a karena keduanya perintah Allah dan menjadi ibadah. Untuk itu
kita seharusnya tidak perlu berputus asa dalam mengarungi kehidupan ini, karena
rezeki itu akan sampai “kealamat” yang benar (pemiliknya). Mereka semua (mukmin
atau kafir) masing-masing Kami limpahi karunia, karena sesungguhnya pemberian
Rab-mu tiada terhalang kepada siapapun. (Qs. Al-Israa’ [17]: 20).
Seringkali kita menganggap bahwa rezeki berupa kekayaan materi
semata; uang, rumah, mobil, perhiasan, perusahaan, tanah, dan lain-lain.
Padahal rezeki adalah semua yang dapat kita manfaatkan; udara (oksigen) yang
kita hirup, kebutuhan air, cahaya matahari, hasil hutan, hasil bumi/tambang
adalah rezeki juga. Bahkan kecerdasan otak, kefasihan bicara dan
kekuatan/kesehatan tubuh-pun termasuk rezeki karena dengan modal itu kita dapat
bekerja.
Harta yang kita peroleh tidak otomatis menjadi rezeki kita,
karena rezeki adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh pemiliknya. Seorang
yang kaya belum tentu semua hartanya merupakan rezekinya, jika ia termasuk
orang yang sangat kikir sehingga ia tidak membeli rumah tetapi mengontraknya,
ia tidak membeli mobil tetapi naik angkutan umum, pakaiannya jarang diganti
yang baru, tidak berzakat/infaq. Sehingga hartanya semakin berlimpah dan pada
saat ia meninggal harta itu menjadi milik ahli warisnya dan tidak bermanfaat
sedikitpun bagi dirinya. Karena pada saat seorang manusia meninggal maka
terputus amalannya kecuali 3 hal:
Ilmu yang bermanfaat (mengajarkan
al-Quran/da’wah, mengaji, shalat, dan lain-lain)
Shadaqah yang dimanfaatkan orang lain (membangun mesjid,
pengairan, dan lain-lain)
Do’a
anak yang shaleh
Setiap manusia meninggal, maka terputuslah segala amal
perbuatannya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shaleh yang senantiasa mendo’akannya (Al-Hadist).
Walhasil, rezeki kita akan menuju kepada 3 arah saja:
Segala sesuatu yang dimakan dan akan menjadi kotoran (makanan,
minuman, obat, dan lain-lain)
Segala sesuatu yang digunakan dan akan menjadi sampah (pakaian,
sepatu, kendaraan, dan lain-lain)
Segala sesuatu yang diinfaqkan dan akan menjadi tabungan akhirat
Selain ketiga hal diatas bukan rezeki kita, tetapi kita hanya
diberi amanah untuk mencarinya, menjaganya dan menyerahkannya kepada pemilik
yang sebenarnya (pemilik asli).
Allah swt selalu menguji keimanan seseorang dan ujian itu tidak
hanya berupa kesulitan/musibah tetapi kesenangan merupakan ujian juga. Rezeki yang
melimpah menjadi ujian bagi manusia, apakah dimanfaatkan dijalan yang halal,
dibayarkan zakatnya, untuk membantu fakir miskin/saudara/tetangga, diinfaqkan
untuk da’wah Islam atau untuk naik haji. Atau disimpan saja tanpa mempedulikan
hal-hal diatas, sehingga rezeki ini membawa petaka bagi dirinya dan termasuk
orang-orang yang merugi. : Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebajikan sebagai suatu ujian, dan kepada Kami kamu akan dikembalikan. (Qs.
Al-Anbiyaa’ [21]: 35).
Seseorang yang kaya raya maka hisabnya di Yaumil akhir lebih
lama, karena khusus masalah harta ini ada dua pertanyaan; bagaimana cara
memperolehnya? dan untuk apa digunakan? Sehingga seorang konglomerat
Abdurrahman bin Auf, termasuk 10 sahabat yang dijanjikan masuk syurga, saat diberitakan
Nabi saw bahwa Abdurrahman bin Auf merangkak masuk syurga karena banyaknya
harta yang ia punya dan lamanya hisab yang harus dijalaninya. Mendengar hal
itu, kemudian Abdurrahman bin Auf menginfaq-kan seluruh hartanya berupa 40.000
dirham emas (1 dirham = 4,25 gram emas murni, sehingga sekitar 16 milyar
rupiah!) ditambah perak, unta dan kuda untuk menegakkan agama Allah. Sanggupkah
kita menjadi Abdurrahman bin Auf?, dimana semua hartanya menjadi rezekinya.
Untuk itu sekarang menjadi pilihan kita atas harta yang kita
peroleh, memanfaatkannya dijalan Allah sehingga menjadi rezeki kita dan
tabungan akhirat atau menjadi kotoran dan sampah. Orang-orang yang beruntung
adalah orang-orang yang pintar memanfaatkan hartanya; membayar zakat, naik
haji, infaq untuk fakir miskin/mesjid/da’wah dan untuk ibadah. Pilihan kita
untuk menentukannya, menjadikannya rezeki kita dan bermanfaat atau hanya
sia-sia saja.
Wallahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar